B.
PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
1. Pengertian
Umum Budaya Politik
Budaya politik merupakan sistem
nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur
masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para
elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan
Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap
orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam
bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem
itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju
tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan,
bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan
simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki.
Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan
peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut ini adalah beberapa pengertian
budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara
teoritis sebagai berikut :
a.
Budaya politik
adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat
istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar
masyarakat. Budaya
politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai
dan norma lain.
b. Budaya politik dapat dilihat dari
aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau
materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek
generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau
tertutup.
c.
Hakikat dan ciri
budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu
pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
d. Bentuk budaya
politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup,
tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola
kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas
(mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas
kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya
membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi
politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual
ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap
masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan
yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik
hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara
keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.
1. Pengertian
Budaya Politik Menurut Para Ahli
Terdapat banyak sarjana ilmu
politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep
tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih
jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga
tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan
pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.
a. Rusadi
Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan
orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu
sistem politik.
b. Sidney
Verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan
empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi
dimana tindakan politik dilakukan.
c. Alan
R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri
dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan
dengan sistem politik dan isu-isu politik.
d. Austin
Ranney
Budaya politik adalah seperangkat
pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara
bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
e. Gabriel
A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai
dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan
pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian
tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik
beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
Pertama : bahwa konsep budaya
politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan,
tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti
orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang
menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik
adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik
yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem
politik.
Kedua : hal-hal yang
diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap
berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik.
Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap
komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam
sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem
politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran
struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya.
Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif,
eksekutif dan sebagainya.
Ketiga
: budaya
politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen
budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan
masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini
berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi
perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya
sistem politik yang ideal.
1. Komponen-Komponen
Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A.
Almond dan G. Bingham
Powell, Jr., bahwa
budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud
dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi
satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik
(dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai
suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis
dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya
politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi
afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba
dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils
tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga
komponen obyek politik sebagai berikut.
Orientasi kognitif : yaitu berupa
pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala
kewajibannya serta input dan outputnya.
Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem
politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang
obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria
dengan informasi dan perasaan.
C.
TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
1.
Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem
ekonomi dan teknologi
yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan.
Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi
ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat
”tolerasi”.
a.
Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang
sebagai usaha mencari
alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi
kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang
salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
b. Budaya
Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus
dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis
terhadap ide orang, tetapi bukan
curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari
pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan
ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi
pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu
mengundang kerja
sama. Berdasarkan
sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya
Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki
nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah
intensifikasi dari kepercayaan,
bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak
atau menyerang hal-hal yang baru atau
yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap
tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka,
tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya
Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya
terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat
melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai
kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik
sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan
baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan
dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik
melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong
usaha perbaikan dan pemecahan
yang lebih sempurna.
1.
Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya
politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang
dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem
politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam
tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik
yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang
berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan
budaya politik sebagai berikut :
a.
Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu
tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif
(misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
b. Budaya
politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat
bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih
bersifat pasif.
c.
Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu
budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak
menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari
ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di
dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.
No
|
Budaya Politik
|
Uraian / Keterangan
|
1.
|
Parokial
|
a.
Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input,
obyek-obyek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati
nol.
b. Tidak
terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.
c.
Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang
komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.
d. Kaum
parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.
e.
Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana
dimana spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.
f.
Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif
dan normatif dari pada kognitif.
|
2.
|
Subyek/Kaula
|
a.
Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang
diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi
terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai
partisipan yang aktif mendekati nol.
b. Para
subyek menyadari akan otoritas pemerintah
c.
Hubungannya terhadap sistem plitik secara umum, dan terhadap output,
administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.
d. Sering
wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang
terdiferensiansikan.
e.
Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.
|
3.
|
Partisipan
|
a.
Frekuensi orientasi politik sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input,
output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.
b. Bentuk
kultur dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara
eksplisit terhadap sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur
dan proses politik serta administratif (aspek input dan output
sistem politik)
c.
Anggota masyarakat partisipatif terhadap obyek politik
d. Masyarakat
berperan sebagai aktivis.
|
Kondisi masyarakat dalam budaya
politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan
memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan
terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut.
Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan
publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan
diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan
yang tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan
lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya
harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh
tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan
tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki
setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu
mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya
keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu
yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust)
antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini
merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih rendah
satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini
tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian
terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih
pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga
terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil
terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan
masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang
dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga
negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila
mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga
memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga
sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar
terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan tipe
budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak
merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih
mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan
terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa
yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik,
dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.
Budaya politik ini juga
mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk
berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan
politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi
politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi
dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan
perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam
masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan
Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada
satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau
subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe
tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam
tiga bentuk budaya politik, yaitu :
a.
Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
b. Budaya
politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
c.
Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)
Berdasarkan penggolongan atau
bentuk-bentuk budaya politik di atas, dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan politik
sebagai berikut :
Model-Model Kebudayaan Politik
|
||
Demokratik
Industrial
|
Sistem Otoriter
|
Demokratis Pra Industrial
|
Dalam sistem ini cukup banyak aktivis politik
untuk menjamin
adanya kompetisi partai-partai poli-tik dan kehadiran pemberian suara yang besar.
|
Di sini jumlah industrial dan modernis sebagian kecil, meskipun terdapat organisasi politik dan partisipan politik
seperti mahasiswa, kaum in-telektual
dengan tindakan persuasif menentang sis-tem yang ada, tetapi seba-gian besar jumlah rakyat hanya menjadi
subyek yang pasif.
|
Dalam sistem ini hanya terdapat sedikit sekali
parti-sipan dan sedikit pula keter-libatannya dalam peme-rintahan
|
Pola kepemimpinan sebagai bagian dari budaya politik,
menuntut konformitas atau mendorong aktivitas. Di negara berkembang seperti
Indonesia, pemerintah diharapkan makin besar peranannya dalam pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa, konformitas
menyangkut tuntutan atau harapan akan
dukungan dari rakyat. Modifikasi atau kompromi tidak diharapkan, apalagi kritik. Jika pemimpin itu merasa dirinya penting,
maka dia menuntut rakyat menunjukkan
kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada pula elite yang menyadari inisiatif rakyat yang menentukan tingkat pembangunan, maka
elite itu sedang mengembangkan pola kepemimpinan inisiatif rakyat
dengan tidak mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat dengan
disertai kepasifan yang kuat dari rakyat, biasanya mempunyai budaya politik bersifat agama politik,
yaitu politik dikembangkan berdasarkan
ciri-ciri agama yang cenderung mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat. Budaya tersebut merupakan usaha
percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan
yang dominan dalam masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang.
David Apter memberi gambaran tentang kondisi
politik yang menimbulkan suatu agama politik di suatu masyarakat, yaitu kondisi
politik yang terlalu sentralistis dengan peranan birokrasi atau militer yang terlalu kuat.
Budaya politik para elite berdasarkan budaya politik agama tersebut dapat mendorong atau
menghambat pembangunan karena
massa rakyat harus menyesuaikan diri pada kebijaksanaan para elite politik.
D. SOSIALISASI
PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK
1. Pengertian Umum
Sosialisasi Politik, merupakan salah satu dari
fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di negara-negara manapun juga
baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator dan
sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan
orientasi politik pada anggota masyarakat.
Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat ditentukan
oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang/individu berada. Selain itu, juga ditentukan oleh
interaksi pengalaman-pengalaman
serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik, merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha
saling mempengaruhi di antara kepribadian
individu dengan pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya.
Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diperoleh seseorang itu
membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu
menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.
Jadi,
sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat memperoleh
pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya.
Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya,
sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran
terhadap legitimasi. Akan tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan,
tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak
ada legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan
mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak
mungkin yang dihasilkan stagnasi
1. Pengertian Menurut Para ahli
Berbagai pengertian atau batasan mengenai sosialisasi
politik telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan terkemuka. Sama halnya dengan
pengertian-pengertian tentang budaya politik, sistem politik dan seterusnya,
meskipun diantara para ahli politik terdapat perbedaan, namun pada umumnya
tetap pada prinsip-prinsip dan koridor yang sama. Berikut ini akan dikemukana
beberapa pengertian sosialisasi politik menurut para ahli.
- David F. Aberle, dalam “Culture and Socialization”
Sosialisasi politik adalah pola-pola mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek
tingkah laku, yang menanamkan pada individu-individu keterampilan-keterampilan
(termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif dan sikap-sikap yang perlu untuk
menampilkan peranan-peranan yang sekarang atau yang tengah diantisipasikan (dan
yang terus berkelanjutan) sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh
peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari.
- Gabriel A. Almond
Sosialisasi politik menunjukkan pada proses dimana sikap-sikap politik dan
pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, dan juga merupakan
sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan
keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
- Irvin L. Child
Sosialisasi politik adalah segenap proses dengan mana individu, yang
dilahirkan dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan
tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu jajaran yang menjadi
kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan standar-standar dari
kelompoknya.
- Richard E. Dawson dkk.
Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai suatu pewarisan pengetahuan,
nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan
sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang
menginjak dewasa.
- S.N. Eisentadt, dalam From Generation to Ganeration
Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan dan dipelajari oleh manusia
lain, dengan siapa individu-individu yang secara bertahap memasuki beberapa
jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed disebut dengan transmisi
kebudayaan.
- Denis Kavanagh
Sosialisasi politik merupakan suatu proses dimana seseorang mempelajari dan
menumbuhkan pandangannya tentang politik.
- Alfian
Mengartikan pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk mengubah proses
sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati betul
nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak
dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan perilaku politik
baru yang mendukung sistem politik yang ideal tersebut, dan bersamaan dengan
itu lahir pulalah kebudayaan politik baru. Dari pandangan Alfian, ada dua hal
yang perlu diperhatikan, yakni:
pertama : sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang
berjalan terus-menerus selama peserta itu hidup.
Kedua : sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang
berupa pengajaran secara langsung dengan melibatkan komunikasi informasi,
nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas. Proses mana
berlangsung dalam keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media
massa, atau kontak politik langsung.
Dari sekian banyak definisi ini nampak mempunyai banyak
kesamaan dalam mengetengah-kan beberapa segi penting sosialisasi politik,
sebagai berikut.
- Sosialisasi secara fundamental merupakan proses
hasil belajar, belajar dari pengalaman/ pola-pola aksi.
- memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku
individu dan kelompok dalam batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi,
berkenaan pengetahuan atau informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap.
- sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia
anak-anak dan remaja saja (walaupun periode ini paling penting), tetapi
sosialisasi berlangsung sepanjang hidup.
- bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang
diperlukan bagi aktivitas sosial, dan baik secara implisit maupun
eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah laku sosial.
Dari sekian banyak pendapat di atas, menurut Michael
Rush & Phillip Althoff, ada dua masalah yang berasosiasi dengan
definisi-definisi tersebut di atas.
Pertama : seluas manakah sosialisasi itu merupakan proses
pelestarian yang sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji hubungan
antara sosialisasi dan perubahan sosial; atau istilah kaum fungsionalis,
sebagai pemeliharaan sistem. Dalam kenyataan tidak ada alasan sama sekali untuk
menyatakan mengapa suatu teori mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu
memperhitungkan: ada atau tidaknya perubahan sistematik dan perubahan sosial;
menyediakan satu teori yang memungkin pencantuman dua variabel penting, dan
tidak membatasi diri dengan segala sesuatu yang telah dipelajari, dengan siapa
yang diajar, siapa yang mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh. Dua
variabel penting adalah pengalaman dan kepribadian dan kemudian
akan dibuktikan bahwa kedua-duanya, pengalaman dan kepribadian individu,
lebih-lebih lagi pengalaman dan kepribadian kelompok-kelompok individu- adalah
fundamental bagi proses sosialisasi dan bagi proses perubahan.
Kedua : adalah berkaitan dengan keluasan,
yang mencakup tingkah laku, baik yang terbuka maupun yang tertutup, yang
diakses yang dipelajari dan juga bahwa berupa instruksi. Instruksi merupakan
bagian penting dari sosialisasi, tidak perlu disangsikan, orang tua bisa
mengajarkan kepada anak-anaknya beberapa cara tingkah laku sosial tertentu;
sistem-sistem pendidikan kemasyarakatan, dapat memasukkan sejumlah ketentuan
mengenai pendidikan kewarganegaraan; negara bisa secara berhati-hati
menyebarkan ideologi-ideologi resminya. Akan tetapi tidak bisa terlalu
ditekankan, bahwa satu bagian besar bahkan sebagian terbesar sosialisasi,
merupakan hasil eksperimen; karena semua itu berlangsung secara tidak sadar,
tertutup, tidak bisa diakui dan tidak bisa dkenali.
Istilah-istilah seperti “menanamkan” dan sampai
batas kecil tertentu “menuntun pada perkembangan” kedua-duanya cenderung
mengaburkan segi penting dari sosialisasi. Maka Michael Oakeshott
menyatakan; “Pendidikan politik dimulai dari keminkamtaan meminati tradisi
dalam bentuk pengamatan dan peniruan terhadap tingkah laku orang tua kita, dan
sedikit sekali atau bahkan tidak ada satupun di dunia ini yang tampak di depan
mat akita tanpa memberikan kontribusi terhadapnya. Kita menyadari akan masa
lampau dan masa yang akan datang, secepat kesadaran kita terhadap masa sekarang.”
Jadi, walaupun kenyataan bahwa sosialisasi itu sebagian
bersifat terbuka, sistematik dan disengaja, namun secar atotal adalah tidak
realistis untuk berasumsi bahwa makna setiap pengalaman harus diakui oleh
pelakunya, atau oleh yang melakukan tindakan yang menyangkut pengalaman tersebut.
Kiranya kita dapat memahami bahwa sosialisasi politik
adalah proses, dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan,
nilai-nilai dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa
ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun
hal ini mungkin terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran
terhadap legitimasi; akan tetapi apakah hal ini menuju pada stagnasi atau pada
perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut.
Apabila tidak adanya legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif
terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin saja terjadi, akan tetapi
apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem
politiknya, bukan tidakmungkin terjadi stagnasi.
2. Proses
Sosialisasi Politik
Perkembangan sosiologi politik
diawali pada masa kanak-kanak atau remaja. Hasil riset David Easton dan Robert Hess mengemukakan
bahwa di Amerika Serikat, belajar politik dimulai pada usia tiga tahun dan menjadi
mantap pada usia tujuh tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik mencakup
perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan,, seperti "keterikatan kepada
sekolah-sekolah mereka", bahwa mereka berdiam di suatu daerah
tertentu. Anak muda itu mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinva, kebaikan serta
kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol-simbol otoritas umum, seperti agen polisi, presiden,
dan bendera nasional. Pada usia sembilan dan sepuluh
tahun timbul kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara,
demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan warga negara dalam sistem politik.
Peranan keluarga dalam sosialisasi politik sangat
penting. Menurut Easton dan Hess,
anak-anak mempunyai gambaran
yang sama mengenai ayahnya dan presiden selama bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai tokoh kekuasaan. Easton dan Dennis mengutarakan
ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari anak, yaitu sebagai berikut.
- Pengenalan otoritas melalui individu
tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi.
- Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan
yang ekternal, yaitu antara pejabat
swasta dan pejabat pemerintah.
- Pengenalan mengenai
institusi-institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara (pemilu).
- Perkembangan pembedaan antara
institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan
dengan institusi-institusi ini.
Suatu penelitian
secara khusus telah dilakukan guna menyelidiki nilai-nilai pengasuhan anak yang dilakukan oleh
berbagai generasi orang tua di Rusia. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :
- Tradisi; terutama agama, tetapi
juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi pada
umumnya
- Prestasi; ketekunan, pencapaian/perolehan,
ganjaran-ganjaran material mobilitas sosial.
- Pribadi; kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan
hati.
- Penyesuaian diri; bergaul dengan balk, menjauhkan diri dari
kericuhan, menjaga keamanan dan ketentraman.
- Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.
- Politik; sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan
berkaitan dengan pemerintahan.
Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan jalan mana
orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik.
Adapun sarana alat yang dapat dijadikan
sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara lain :
1) Keluarga (family)
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan
efektif adalah di dalam keluarga. Di mulai dari keluarga inilah antara orang
tua dengan anak, sering terjadi “obrolan” politik ringan tentang
segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer pengetahuan dan nilai-nilai
politik tertentu yang diserap oleh si anak.
2) Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civics education (pendidikan
kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan berinteraksi
dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai politik
teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh pengetahuan
awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik yang
benar dari sudut pandang akademis.
3) Partai Politik
Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai
sosialisasi politik. Ini berarti partai politik tersebut setelah merekrut
anggota kader maupun simpati-sannya secara periodik maupun pada saat kampanye,
mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Partai politik harus mampu men-ciptakan “image” memperjuangkan
kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari masyarakat dan senantiasa
dapat memenangkan pemilu.
Khusus pada masyarakat primitif, proses sosialisasi
terdapat banyak perbedaan. Menurut Robert
Le Vine yang telah menyelidiki
sosialisasi di kalangan dua suku bangsa di Kenya Barat Daya: kedua suku bangsa tersebut merupakan
kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi
dan sifatnya patriarkis. Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama
dan ditandai ciri karakteristik oleh
permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku Neuer pada dasarnya bersifat egaliter (percaya semua orang
sama derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii bersifat otoriter dan agresif.
Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati tradisi mereka
masing-masing.
E. PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
1. Pengertian Partisipasi Politik
Pembahasan tentang budaya politik tidak terlepas dari partisipasi politik
warga negara. Partisipasi politik pada dasarnya merupakan bagian dari budaya
politik, karena keberadaan struktur-struktur politik di dalam masyarakat,
seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan dan media masa
yang kritis dan aktif. Hal ini merupakan satu indikator adanya keterlibatan
rakyat dalam kehidupan politik (partisipan).
Bagi sebagian kalangan, sebenarnya keterlibatan rakyat dalam proses
politik, bukan sekedar pada tataran formulasi bagi keputusan-keputusan yang
dikeluarkan pemerintah atau berupa kebijakan politik, tetapi terlibat juga
dalam implementasinya yaitu ikut mengawasi dan mengevaluasi implementasi
kebijakan tersebut.
Partisipasi Politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara
aktif dalam kehidupan politik, seperti memilih pimpinan negara atau upaya-upaya
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Myron Weiner, terdapat lima
penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik,
yaitu sebagai berikut :
a. Modernisasi dalam
segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk
ikut dalam kekuasaan politik.
b. Perubahan-perubahan
struktur kelas sosial. Masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan
keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola
partisipasi politik.
c. Pengaruh kaum
intelektual dan kemunikasi masa modern. Ide demokratisasi partisipasi telah
menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan
industrialisasi yang cukup matang.
d. Konflik antar kelompok
pemimpin politik, jika timbul konflik antar elite, maka yang dicari adalah
dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang melawan kaum aristokrat
yang menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.
e. Keterlibatan
pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya
ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya
tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam
pembuatan keputusan politik.
Sumber : http://mjieschool.multiply.com/journal/item/10/BAB_I_BUDAYA_POLITIK_DI_INDONESIA?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar